Prof Sri Nurdiati Prediksi Potensi Karhutla Menggunakan Konsep Pemodelan Matematis
Prof Sri Nurdiati Prediksi Potensi Karhutla Menggunakan Konsep Pemodelan Matematis
Prof Sri Nurdiati, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University menyampaikan analisis kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia dapat menggunakan konsep pemodelan matematis. Ia menilai, konsep pemodelan yang menggunakan data amatan dari stasiun klimatologi dengan skala model yang singkat (harian, mingguan) tersebut dapat memberikan hasil yang jauh lebih akurat jika dibandingkan dengan analisis pada data satelit.
“Ada dua karakter karhutla di Indonesia berdasarkan pada data luas terbakar Global Fire Emission Database (GFED) tahun 1997-2016,” buka Prof Sri Nurdiati saat acara Konferensi Pers Pra Orasi Guru Besar IPB University (21/9) di hadapan para awak media melalui Zoom Meeting.
Ia menjelaskan, pola karhutla pertama meliputi wilayah Riau dan sekitarnya, Sumatera bagian selatan, Kalimantan, dan Merauke. Kondisi ini terjadi pada musim kemarau pada pertengahan hingga akhir tahun dengan periode 12 bulan. Sementara itu, pola karhutla kedua terjadi pada wilayah Sumatera bagian utara (Riau dan sekitarnya) dalam periode 6 bulan dan tidak memiliki keterikatan yang konsisten terhadap El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD).
Dalam memahami karakteristik karhutla dan upaya mengantisipasinya di masa mendatang, salah satu pemodelan yang paling populer adalah metode regresi. Metode statistik ini dipakai untuk memperkirakan hubungan antara variabel terikat dan variabel independen atau lebih. Dalam penelitian lain diperkenalkan integrasi indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan IOD atau perbedaan suhu permukaan laut di dua wilayah dalam mempengaruhi korelasi antara indikator iklim yang digunakan dengan titik panas pada setiap tahunnya.
“Hasil dari transformasi tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan variabel indikator iklim yang terikat dengan fenomena ENSO dan IOD. Analisis pada data yang diintegrasikan dapat menghasilkan performa umum jauh lebih baik dari penelitian sebelumnya,” terangnya.
Prof Sri juga mengulas tentang ProbFire yang dikenalkan Nikovas tahun 2022 sebagai model dasar sistem peringatan kebakaran di masa depan dengan menggabungkan indikator iklim (curah hujan, suhu udara, dan kelembaban relatif) dan non iklim (aktivitas karhutla sebelumnya dan tutupan lahan hutan). Secara umum, Probfire melampaui prediksi karhutla berbasis hanya pada data klimatologi saja pada waktu tenggang 2 hingga 4 bulan di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Papua Selatan.
Pendekatan lain yang cukup populer adalah menggunakan hidro-climatologycal indikator pada pemodelan karhutla. Dengan menggunakan selisih curah hujan dan penguapan, komponen pertama dari data berubah menjadi tidak hanya mencakup area dengan periode hujan 12 bulan, tetapi juga area yang memiliki periode karhutla 6 bulan.
“Analisis pada data menunjukkan bahwa penggunaan variabel selisih curah hujan dan penguapan dapat memperkecil jarak batas kritis yang disebabkan oleh perbedaan tipe curah hujan yang ada di Indonesia. Hasil tersebut menunjukkan bahwa indikator selisih curah hujan dan penguapan dapat digunakan dalam pemodelan yang berfungsi dengan baik atau robust, meliputi wilayah dengan karakter karhutla yang beragam,” tandasnya.
Metode ini penting mengingat Indonesia telah mengalami lebih dari 300 bencana alam pada periode 1990-2021, 70 persen di antaranya merupakan dampak dari perubahan iklim. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara paling rentan terhadap gelombang panas ekstrem menurut proyeksi model iklim.
“Karenanya, kondisi tersebut perlu mendapat perhatian, mengingat kekeringan dan gelombang panas ekstrem di Indonesia sangat terkait dengan resiko bencana karhutla,” pungkas Prof Sri. (dh/Rz)
Source : Prof Sri Nurdiati, ipb.ac.id