Impacts of peatlands rewetting on greenhouse gas emissions in Riau Province
Impacts of peatlands rewetting on greenhouse gas emissions in Riau Province
Latar Belakang dan Deskripsi Program
Kegiatan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) nasional. Di antara kegiatan ini, sebagian besar dilakukan di kawasan dengan cadangan karbon tinggi, seperti ekosistem lahan gambut.
Untuk mengambil langkah-langkah mendesak dalam menghadapi perubahan iklim dan dampaknya, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Universitas IPB, diminta oleh Pemerintah Indonesia untuk menghasilkan pengetahuan baru terkait aksi mitigasi perubahan iklim. Kami melihat pemahaman tentang dampak restorasi lahan gambut melalui proses pemulihan (rewetting) sebagai opsi mitigasi yang strategis dengan cara mengkuantifikasi faktor emisi spesifik negara yang berskala tinggi di berbagai penggunaan lahan.
Bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG), sebuah lembaga pemerintah ad hoc yang memiliki tugas untuk memulihkan 2 juta hektar lahan gambut terdegradasi dalam lima tahun (2016-2020), kami mengukur faktor emisi dari tiga gas rumah kaca utama: CO2, CH4, dan N2O pada lahan gambut yang direhabilitasi, serta perkebunan kelapa sawit dan karet. Parameter lain seperti kedalaman gambut dan tingkat muka air tanah (GWL) juga dipantau.
Implementasi
Kampanye pengukuran lapangan dilakukan dari Januari 2018 hingga Desember 2019 dengan interval 3-4 bulan untuk fluks GRK, sementara pengukuran GWL dilakukan sepanjang periode tersebut. Tiga mahasiswa turut terlibat dalam penelitian ini sebagai bagian dari proyek PhD dan Magister mereka.
Pengukuran langsung emisi CO2 dilakukan dengan menggunakan alat analisis gas inframerah portabel, sementara untuk fluks CH4 dan N2O, gas-gas tersebut diambil dengan menggunakan teknik ruang tertutup dan dianalisis menggunakan kromatografi gas dari sampel yang diambil. Rangkaian faktor emisi akan dihasilkan dari pengukuran ini.
Suhu tanah dan GWL dipantau secara terus-menerus menggunakan diver untuk menunjukkan dampak pemulihan terhadap emisi GRK, di mana saluran drainase diblokir pada Desember 2018 untuk meningkatkan muka air tanah.
Riau dipilih sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami perubahan penggunaan lahan yang luas. Pemilihan petak lahan untuk kampanye ini didasarkan pada praktik umum ketika hutan rawa gambut tropis ditebang dan diubah. Dengan demikian, kami dapat mensimulasikan tren di masa depan pada skala yang lebih besar.
Hasil dan Dampak
Respons fluks GRK terhadap pemulihan lahan gambut berbeda antara jenis penggunaan lahan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kombinasi tutupan kanopi (suhu tanah) dan sistem akar. Lebih rinci:
- Emisi CO2 total rata-rata sebelum pemblokiran saluran drainase di lahan yang direhabilitasi, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet masing-masing adalah 10,93, 16,66, dan 23,70 Mg CO2 ha-1 tahun-1. Setelah saluran diblokir, rata-rata emisi CO2 totalnya menjadi 3,57, 10,47, dan 15,27 Mg CO2 ha-1 tahun-1 di masing-masing jenis penggunaan lahan tersebut.
- Fluks Metana (CH4) sebelum pemblokiran saluran adalah -0,10, 0,34, dan 0,50 mg m-2 jam-1 di area yang direhabilitasi, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet, sementara setelah pemblokiran, fluksnya menjadi 8,02, 5,36, dan 0,64 mg m-2 jam-1.
- Di sisi lain, N2O menurun dari 0,40, 0,40, dan 0,40 mg m-2 jam-1 di area hutan, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet menjadi -0,20, -0,45, dan 2,15 mg m-2 jam-1.
Tren penurunan emisi GRK karena pemulihan lahan gambut, terutama untuk CO2 (hingga 67%), menunjukkan bahwa dari perspektif mitigasi perubahan iklim, tindakan ini perlu diperluas.
Tantangan dan Pembelajaran
Kami menyadari bahwa ukuran sampel selama periode dua tahun cukup terbatas meskipun fluks GRK menunjukkan variabilitas ruang dan waktu yang besar. Namun, memberikan rentang emisi (batas atas dan bawah) sudah cukup untuk menghasilkan faktor emisi yang lebih tidak pasti.
Faktor emisi yang dihitung ini, yang sangat penting untuk inventaris GRK nasional, dapat diadopsi asalkan analisis ketidakpastian dilakukan. Faktor emisi ini juga bisa diekstrapolasi untuk menggambarkan emisi yang lebih terperinci pada tingkat lanskap.
Replikabilitas
Teknik pengambilan sampel gas dan analisis yang digunakan cukup standar dan banyak diterapkan. Pemisahan respirasi heterotrof dan autotrof dari emisi CO2 total perlu dilakukan di lokasi lain. Ini sangat penting karena karakteristik gambut dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi lain tergantung pada input material organik dan proses biogeokimia yang berlangsung.
Secara singkat, lebih banyak sampel dengan prosedur pengambilan sampel yang terstratifikasi sebaiknya diusahakan untuk menangkap variabilitas ini. Dengan demikian, kampanye pengukuran ini akan menjadi lebih efektif secara biaya.